Jumat, 03 Juli 2015

Pengaruh Film Animasi Pada Agresivitas Anak Balita

    Pengaruh Film Animasi Pada Agresivitas  Anak Balita

Kesehatan Mental (Soft Skill)
                              Dosen : Puti Anggraini
               
                                    Disusun Oleh :
Nama      : Alfiani Nurul Fadila
NPM        : 10513656
Kelas       : 2PA08

                                                            BAB I
                                      PENDAHULUAN
Saat ini,berbagai macam film termasuk film anak-anak mudah di akses. Baik melalui internet,televisi,maupun CD. Dengan mudah diperoleh film-film tersebut terkadang tidak di sensor secara memadai termasuk film anak-anak(kartun) sehingga sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perilaku maupun sifat yang melihat film tersebut termasuk dari kalangan anak-anak.
Televisi merupakan salah satu media yang mampu mempengaruhi kehidupan manusia tidak terkecuali balita, dari televisi mereka dapat mengaplikasiakan apa yang mereka dengar dan mereka lihat.Salah satu tayangan yang menarik bagi mereka adalah film kartun, film kartun disukai karena tampilannya yang menarik, lucu, serta mereka dapat berimajinasi dengan fantasi mereka. Pencipta-pencipta film kartun memang dibuat bergelimang harta karena hal tersebut, apalagi di era millennium ini banyak sekali film kartun yang di produksi.Banyaknya film kartun tersebut bukannya membuat gembira, namun justru membuat masalah yang jauh lebih kompleks lagi.  
Banyak hal yang belum diketahui oleh orang tua sekarang yang masih membiarkan saja anaknya melihat film kartun kesayangannya tanpa mendampinginya, padahal itu merupakan tindakan yang “Ceroboh” karena meraka tidak akan tahu apa dampak yang cukup berbahays dari hal tersebut. Anak-anak mereka dapat meniru hal-hal yang seharusnya belum saatnya dilakukan oleh anak seusia mereka, hal yang lebih parah adalah kalau anak tersebut melihat film kartun yang berbau perang. Film animasi saat ini sudah menjadi tontonan favorit anak-anak balita melalui televisi di rumah bahkan mengalahkan dan mengganggu aktivitas anak-anak bersangkutan daripada belajar. Jika kondisi tersebut dibiarkan secara terus menerus akan berdampak pada agresivitas anak balita.Oleh karena itu, pada makalah ini akan dijelaskan tentang pengaruh dan bahaya film-film kartun terkait dengan agresivitas pada anak balita.


   BAB II
    Landasan Teori
A.Teori Belajar Kognitif,
Teori kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Teori ini mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, melainkan tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Prinsip umum teori Belajar Kognitif, antara lain:
a.       Lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
b.      Disebut model perceptual
c.       Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang  berhubungan dengan tujuan belajarnya
d.      Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak
e.       Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran  menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan memperlajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna.
f.       Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan





B. Teori Agresivitas
a.Teori Bawaan
1)      Teori Psikoanalisis ( naluri )
Menurut freud dalam teori psikoanalisis klasiknya mengemukakan bahwa agresi adalah satu dari dua naluri dasar manusia. Naluri agresi atau tanatos merupakan pasangan dari naluri seksual atau eros. Jika naluri seks untuk melanjutkan keturunan, naluri agresi untuk mempertahankan jenis. Kedua naluri tersebut berada dalam alam ketidaksadaran, khususnya pada bagian dari kepribadian yang disebut ID yang pada prinsipnya selalu ingin agar kemauannya dituruti (prinsip kesenangan atau pleasure principle).
Karena dinamika kepribadian seperti itulah, sebagian besar naluri agresif manusia diredam (repressed) dalam alam ketidaksadaran dan tidak muncul sebagai perilaku yang nyata. Akan tetapi, bahwa agresivitas merupakan ciri bawaan manusia terbukti dalam berbagai mitologi.

2)      Teori Biologi
Teori biologi mencoba menjelaskan perilaku agresif, baik dari proses faal maupun teori genetika (ilmu keturunan). Yang mengajukan proses faal antara lain adalah Moyes (1976) yang berpendapat bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan susunan syaraf pusat. Menurut timAmerican Psychological Association (1993), kenakalan remaja lebih banyak terdapat pada remaja pria, karena jumlah testosteron menurun sejak usia 25 tahun.
Teori biologi ysng meninjau perilaku agresif dari ilmu genetika dikemukakan oleh Lagerspetz (1979). Ia mengawinkan sejumlah tikus putih yang agresif dan tikus putih yang tidak agresif.

b.Teori Lingkungan
1) Teori Frustasi-Agresi Klasik
Teori yang dikemukakan oleh Dollard dkk (1939) dan Miller (1941) ini intinya berpendapat bahwa agresi dipicu oleh frustasi. Frustasi itu sendiri artinya adalah hambatan terhadap pencapaian suatu tujuan. Dengan demikian, agresi merupakan pelampiasan dari perasaan frustasi. Misalnya, Anda sangat kehausan dan kebetulan kehabisan koin untuk membeli minuman dari mesin minuman yang ada di dekat situ. Untungnya ada teman yang mau maminjamkan koin dan dengan penuh harapan Anda memasukkan koin itu ke dalam mesin. Akan tetapi, ternyata mesin itu macet. Minuman dingin tidak mau keluar dan koin pun tertinggal di dalam. Anda tetap kehausan dan tetap tidak mempunyai uang, bahkan sekarang berhutang kepada teman Anda. Dalam keadaan frustasi seperti ini dapat dijelaskan mengapa Anda memukuli atau menendangi mesin minuman “celaka” itu.
2)      Teori Frustasi-Agresi Baru
Menurut Burnstein dan Eorchel (1962) membedakan antara frustasi dan iritasi. Jika suatu hambatan terhadap pencapaian tujuan dapat dimengerti alasannya, yang terjadi adalah iritasi (gelisah atau sebal), bukan frustasi (kecewa dan putus asa). Kegagalan mesin minuman dalam contoh di atas adalah frustasi, karena mestinya mesin itu tidak gagal dan tidak dapat dimengerti mengapa mesin itu rusak. Semua itu membuat Anda agresif. Akan tetapi, kalau sebelum memasukkan uang Anda sudah melihat tulisan “ mesin ini rusak “, Anda mengerti mengapa Anda tidak dapat membeli minuman dari mesin itu dan Anda tidak menjadi agresif walaupun anda tetap kehausan. Frustasi ini lebih memicu agresi daripada iritasi.
Berkowitz (1978 dan 1989) mengatakan bahwa frustasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah inilah yanng memicu agresi. Marah itu sendiri baru timbul jika sumber frustasi dinilai mempunyai alternatif perilaku lain daripada perilaku yang menimbulkan frustasi itu.
3)      Teori Belajar Sosial
Berbeda dari teori bawaan dan teori frustasi-agresi yang menekankan faktor-faktor dorongan dari dalam, teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. PattersonLittman, dan Bricker (1967) menemukan bahwa pada anak-anak kecil, agresivitas yang membuahkan hasil yang berupa peningkatan frekuensi perilaku agresif itu sendiri. Rubin (1986) mengemukakan bahwa aksi terorisme yang tidak mendapat tanggapan dari media massa tidak akan berlanjut. Jadi, ganjaran yang diperoleh dari perilaku agresif akan berpengaruh pada peningkatan perilaku agresif tersebut.
Demikian pula White dan Humphrey (1994) mendapatkan bahwa wanita-wanita yang agresif telah mengalami sendiri perlakuan agresif terhadap dirinya, baik yang diperolehnya dari orang tuanya, teman prianya, maupun pacarnya. Bandura (1979) juga mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari pun perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa. Penelitian-penelitian di Indonesia juga membuktikan bahwa kenakalan remaja sangat terkait dengan hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak (Ilahude, 1983 ) atau apa yang dilihatnya di rumah, sekolah, dan di kalangan teman (Retnowati, 1983; Sarifuddin, 1982 ).

C.Teori Kognisi
Teori kognisi berintikan pada proses yang terjadi pada kesadaran dalam membuat penggolongan (kategorisasi), pemberian sifat-sifat (atribusi), penilaian, dan pembuatan keputusan. Dalam hubungan antara dua orang, kesalahan atau penyimpangan dalam pemberian atribusi juga dapat menyebabkan agresi (Johnsondan Rule, 1986). Misalnya ada seorang pelajar melihat ada pelajar lain sedang melihat ke arah dirinya. Pelajar yang pertama kemudian memberi atribusi yang salah kepada pelajar kedua, yaitu bahwa pelajar kedua memusuhinya, marah kepadanya atau menantangnya berkelahi. Reaksi pelajar pertama menjadi agresif terhadap pelajar kedua.


D.Film Animasi
Film kartun atau lebih akrab disebut dengan film animasi, adalah film yang merupakan hasil dari pengolahan gambar tangan sehingga menjadi gambar yang bergerak. Pada awal penemuannya, film animasi dibuat dari berlembar-lembar kertas gambar yang kemudian di-"putar" sehingga muncul efek gambar bergerak. Imajinasi dan daya cipta sang seniman memiliki porsi yang sangat tinggi dalam membuat sebuah film kartun. Ciri khas dari film animasi adalah baik cerita, adegan, tokoh maupun gambar nya begitu bebas dan seringkali melampaui atau menentang batas-batas realita dunia nyata.
Beberapa puluh tahun yang lalu, tujuan dibuatnya film animasi atau film kartun adalah sebagai tayangan hiburan untuk anak-anak. Seiring dengan perkembangan jaman dan beragamnya jenis hiburan, film kartun atau animasi berubah tidak hanya sebagai tayangan hiburan untuk anak melainkan meluas menjadi konsumsi berbagai usia.
Bila kita cermati, sebenarnya memang banyak film animasi kartun di televisi yang menampilkan adegan kekerasan. Ironisnya, animasi kartun di televisi bagi sebagian besar masyarakat masih dianggap sebagai film anak-anak. Padahal kita tidak tahu, film impor tersebut di negara asalnya apakah memang jelas-jelas untuk konsumsi anak-anak, atau tidak?
Sebagai contoh, film animasi kartun ‘Tom and Jerry’ yang populer dan sangat digemari oleh anak-anak. Banyak orangtua yang merasa aman-aman saja dan membiarkan buah hati mereka menonton animasi kartun tanpa perlu mendampinginya. Padahal, film animasi karya duo animator William Hanna dan Joseph Barbera ini bila diperhatikan sarat dengan adegan kurang terpuji. Film kartun legendaris yang pertama kali diproduksi tahun 1940 ini, hampir di setiap penayangannya tampil penuh kekerasan maupun keisengan yang cenderung ekstrem. Perseteruan abadi tokoh kucing dan tikus ini selalu diwarnai dengan upaya saling mengalahkan dengan melakukan pemukulan, penusukan, pembakaran, jebakan, peledakan, penyiksaan terhadap masing-masing tokoh maupun perusakan materi seperti melempar piring, membanting gelas dan lain sebagianya. Meski semua itu dikemas dalam balutan humor, sehingga tampak jenaka, namun bagi anak-anak yang belum bisa berpikir panjang bisa jadi apa yang diperagakan oleh tokoh Tom dan Jerry dianggap sebagai legalitas bagi mereka untuk melakukan hal serupa dalam pergaulan sehari-hari.
Lalu bagaimana seharusnya? Film animasi yang bagaimana yang benar-benar ideal untuk anak-anak? Memang sulit untuk menemukannya. Tapi tak menutup kemungkinan, bahwa dampak negatif yang selalu dikhawatirkan masyarakat atas film kartun animasi televisi terhadap anak, bisa diminimalisir.
Misalnya; (satu); ada pelabelan atau pengkategorian yang jelas dan tegas dari KPI atau lembaga terkait terhadap film animasi kartun televisi, apakah untuk anak-anak, remaja, dewasa, atau segala usia; (dua), pihak LSF lebih ketat lagi dalam melakukan sensor; (tiga), orangtua menyempatkan waktu untuk selalu mendampingi anak-anak saat menonton film animasi kartun, dan siap memberikan penjelasan seperlunya apabila ada adegan yang tak pantas untuk anak-anak; (empat), komitmen pihak televisi untuk memproduksi film animasi kartun bernuansa budaya lokal, sekaligus sebagai upaya memberdayakan dan mengakomodasi potensi animator dalam negeri.
Mengingat dewasa ini ilmu dan teknik animasi banyak diajarkan secara akademis di perguruan tinggi seni maupun teknik informatika, maka anak bangsa yang handal dan potensial membuat film animasi cukup melimpah. Banyak cerita rakyat dan kisah-kisah budi pekerti yang bisa diaktualisasikan kembali menjadi animasi kartun televisi, sehingga kita tidak dijajah produk film impor, dan tanpa disadari dipaksa untuk permisif terhadap budaya asing melalui setting, istiadat dan perilaku para tokohnya yang belum tentu sesuai dengan budaya Indonesia.
E.Perilaku Anak Balita
            Saat usia anak bertambah, sifat meniru masih terus berlanjut. Apa yang dikatakan orang tuanya, sikap seperti apa yang orang tuanya tunjukkan, tanpa disadari akan ditiru oleh anak. Anak belajar dari apa yang ia lihat dan dengar. Apa yang Anda lakukan, baik itu gerakan, kata-kata, atau emosi, semua menjadi sarana belajar bagi anak. Hingga usia 18 bulan, anak biasanya masih meniru gerakan. Barulah mulai usia 3 tahun, anak meniru perilaku, sopan-santun dan bahasa Anda. Jika Anda adalah orang yang toleran dan selalu berkata sopan pada setiap orang, maka sangat mungkin terjadi si kecil pun akan tumbuh menjadi orang yang seperti itu juga.
            Saat ini, anak mungkin tidak paham mengapa Anda berperilaku baik dan sopan pada orang lain, tetapi mereka akan tetap meniru Anda. Sebaliknya, jika Anda adalah orang yang berpikiran sempit dan penuh kebencian pada orang lain yang tidak sepaham, maka sikap negatif ini pun akan ditiru oleh anak, dan menjadi dasar bagaimana ia memperlakukan sesama saat dewasa nanti.
         
F.     Pengaruh pada Balita
Beberapa acara televisi anak-anak berakibat buruk untuk otak anak menurut sebuah studi baru tentang menonton kartun. Dampaknya adalah anak-anak tidak bisa berkonsentrasi atau fokus dengan baik setelah menonton film kartun tertentu.Hal ini terungkap, seperti dirilis oleh CNN Health (12/09/2011), dari hasil penelitian oleh ahli dari University of Virginia mengenai dampak film kartun yang mereka sebut dengan istilah “animated kitchen sponge” atau yang kita kenal dengan kartun Spongebob terhadap kemampuan berpikir anak. Selain CNN Health, Washington Post pun memberitakan hasil penelitian ini.
Peneliti dari University of Virginia tersebut melakukan pengujian terhadap 60 sampel anak usia 4 tahun dengan memberikan perlakuan yang berbeda. Mereka dibagi ke dalam tiga kelompok: 20 anak kelompok pertama diberikan tontonan 9 menit film kartun animasi cepat Spongebob, 20 anak kelompok kedua diberikan tontonan film animasi lambat Calliou, dan 20 anak kelompok ketiga disuruh menggambar dengan krayon dan spidol.
Peneliti kemudian melakukan tes kemampuan berpikir anak setelah melakukan aktivitas tersebut. Hasilnya adalah kelompok anak yang diberikan perlakuan untuk menonton film Spongebob paling buruk dibandingkan dua kelompok anak lain. Para peneliti menduga bahwa otak mendapat overtaxed atau lelah dari rangsangan-rangsangan cepat dari kartun animasi Spongebob. 
      
Untuk jangka panjang, dampak tersebut masih merupakan pertanyaan terbuka yang harus dibuktikan lebih lanjut. Beberapa penelitian lain telah menemukan hubungan antara acara televisi dengan rentang perhatian anak-anak, terutama pada anak muda, sementara yang lain tidak. Peneliti khawatir acara-acara televisi tersebut memberikan dampak panjang terhadap kemampuan berpikir anak di masa depan. Hal ini disebabkan anak-anak prasekolah menonton televisi minimal 90 menit sehari, dan menurut para peneliti lainnya memperkirakan anak-anak muda menonton televisi antara dua sampai lima jam sehari. Jika ini dikalkulasikan maka jika orang itu hidup 70 tahun, maka 7 sampai 10 tahun masa hidupnya dihabiskan untuk menonton televisi. Hal ini ditambah lagi dari hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa 32 persen anak dari usia 2 sampai 7 tahun dan 65 persen anak dari usia 8 sampai 18 tahun memiliki televisi di kamar tidurnya.
American Academy of Pediatrics (AAP) menyarankan orangtua untuk membatasi anak-anak dari tontonan televisi dan media hiburan lain (seperti video games dan lainnya) tidak lebih dari 1 sampai 2 jam per hari dan tidak membiarkan anak berumur 2 tahun untuk menonton televisi sama sekali. Para peneliti juga mengatakan bahwa ketika otak anak-anak yang masih berkembang dibombardir dengan stimulasi terlalu banyak, dapat mengganggu kemampuan mereka untuk belajar fokus secara baik. Dia menyarankan bahwa orang tua mengawasi apa yang anak-anak mereka menonton.
"Inti dari penelitian ini dan banyak penelitian lain adalah bahwa apa yang ditonton anak Anda sama pentingnya dengan berapa banyak mereka tonton. Ini bukan tentang mematikan televisi, ini tentang mengubah saluran," kata Dr Dimitri Christakis, direktur Pusat Kesehatan Anak University of Washington dan penulis editorial di Jurnal Pediatric. 
Angelina Lillard dan Peterson Jenifer, peneliti yang melakukan riset tersebut sekaligus penulis jurnal, mengatakan hanya dengan 9 menit anak menonton film kartun Spongebob tersebut telah memiliki efek negatif pada fungsi eksekutif otak anak. Orang tua harus waspada terhadap hal ini, karena sedikitnya akan mempengaruhi fungsi otak dalam jangka pendek.

















      BAB III
    PENUTUP
1.KESIMPULAN
Dengan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa film animasi itu sangat berpengaruh pada perilaku dan perkembangan anak di masa depan karena penggunaan media film animasi yang merupakan salah satu media audiovisual dapat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa pada anak seperti kemampuan mengarang cerita, berbicara, dan meningkatkan kosakata anak.Sehingga dapat diasumsikan bahwa penggunaan film animasi dalam proses pembelajaran dapat membantu anak dalam pengembangan berbahasa terutama dalam upaya meningkatkan kosakata dasar. 
            Akan tetapi, pengaruh negatif pada film animasi harus dicegah dan disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat sehingga bisa dicegah sejak dini. Disanalah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mendampingi dan mengawasi anak-anaknya. Di samping itu,orang tua wajib mengawasi anaknya dalam menonton acara televisi, sehingga dapat melakukan proteksi tehadap dampak-dampak yang akan ditimbulkan oleh acara televisi tersebut.

2.SARAN
            Menurut saya,dari orang tua perlu memberikan arahan kepada anak pada saat melihat televisi agar acara yang ditonton oleh anak agar dapat berfungsi untuk berkembangan moral. Salah satu caranya adalah mengarahkan acara tetelevisi kepada anak dengan cara memilih tontonan atau film kartun yang sekiranya kurang layak untuk di tonton oleh anak. Dan memberi pengertian kepada anak mana acara yang layak di tonton dan tidak layak di tonton bagi anak balita. Dan selalu mendampingi anak saat sedang menonton atau saat sedang menonton di suatu media elektronik. Disitulah peran orangtua sangat berperan untuk mendidik dan menanamkan manakah acara dan tontonan yang pantas bagi anak-anak balita.






    DAFTAR PUSAKA
Buss,A.H,Perry M.(1992). The Agression Questionnaire Journal of Personality and Social Psychology.
Ekawati,D.S. (2001). Agresivitas Mahasiswa Berdasarkan Etnis. Laporan Penelitian.Yogyakarta.Fakultas Psikologi UII.
MT Indiarti.2009.Your Baby Day By Day.Jakarta : Andi Publisher.
Carolyn Meggitt.(2013). Memahami perkembangan Anak. Jakarta : Indeks







Related Posts:

  • Sejarah Komunitas Online A. Sejarah Komunitas Online Tahun 1997 Muncul situs jejaring sosial pertama yaitu Sixdegree.com walaupun sebenarnya pada tahun 1995 terdapat situs Classmates.com yang juga merupakan situs jejaring sosial namun, Sixdegree.… Read More
  • Psikologi Ketertarikan Interpersonal dalam Internet A. Psikologi ketertarikan interpersonal dalam internet Penyebab daya tarik antara individu yang satu dengan yang lainnya adalah : 1.   Kedekatan fisik 2.   Kesamaan pendapat dan kepribadian, mina… Read More
  • PSIKOTERAPIA.  PENGERTIAN PSIKOTERAPI Psikoterapi adalah pengobatan secara psikologis untuk masalah yang berkaitan dengan pikiran, perasaan dan perilaku. Psikoterapi (Psychotherapy) berasal dari dua kata, yaitu “Psyche” yang artin… Read More
  • Tes Psikologi Online Pengertian dan Kegunaan dari Tes Psikologi Online Perkembangan zaman akan teknologi internet semakin memudahkan pengguna fasilitas untuk melakukan sesuatu. Bagi para pencari tenaga kerja tidak perlu repot-repot melakukan … Read More
  • Computer Supported Cooperative WorkIstilah Computer Supported Cooperative Work (CSCW) pertama kali digunakan oleh Irene Greif dan Paul M. Cashman pada tahun 1984, pada sebuah workshop yang dihadiri oleh mereka yang tertarik dalam menggunakan tek… Read More

0 komentar:

Posting Komentar