Pengaruh
Film Animasi Pada Agresivitas Anak Balita
Kesehatan Mental (Soft Skill)
Dosen : Puti Anggraini
Disusun Oleh :
Nama :
Alfiani Nurul Fadila
NPM :
10513656
Kelas :
2PA08
BAB I
PENDAHULUAN
Saat
ini,berbagai macam film termasuk film anak-anak mudah di akses. Baik melalui
internet,televisi,maupun CD. Dengan mudah diperoleh film-film tersebut
terkadang tidak di sensor secara memadai termasuk film anak-anak(kartun)
sehingga sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perilaku maupun sifat yang
melihat film tersebut termasuk dari kalangan anak-anak.
Televisi
merupakan salah satu media yang mampu mempengaruhi kehidupan manusia tidak
terkecuali balita, dari televisi mereka dapat mengaplikasiakan apa yang mereka
dengar dan mereka lihat.Salah satu tayangan yang menarik bagi mereka adalah
film kartun, film kartun disukai karena tampilannya yang menarik, lucu, serta
mereka dapat berimajinasi dengan fantasi mereka. Pencipta-pencipta film kartun
memang dibuat bergelimang harta karena hal tersebut, apalagi di era millennium
ini banyak sekali film kartun yang di produksi.Banyaknya film kartun tersebut
bukannya membuat gembira, namun justru membuat masalah yang jauh lebih kompleks
lagi.
Banyak hal yang belum diketahui oleh orang tua sekarang
yang masih membiarkan saja anaknya melihat film kartun kesayangannya tanpa
mendampinginya, padahal itu merupakan tindakan yang “Ceroboh” karena meraka
tidak akan tahu apa dampak yang cukup berbahays dari hal tersebut. Anak-anak mereka dapat meniru hal-hal yang seharusnya
belum saatnya dilakukan oleh anak seusia mereka, hal yang lebih parah adalah
kalau anak tersebut melihat film kartun yang berbau perang. Film animasi saat ini sudah menjadi
tontonan favorit anak-anak balita melalui televisi di rumah bahkan mengalahkan
dan mengganggu aktivitas anak-anak bersangkutan daripada belajar. Jika kondisi
tersebut dibiarkan secara terus menerus akan berdampak pada agresivitas anak balita.Oleh karena itu, pada makalah ini akan
dijelaskan tentang pengaruh dan bahaya film-film kartun terkait dengan
agresivitas pada anak balita.
BAB II
Landasan Teori
A.Teori Belajar Kognitif,
Teori kognitif lebih
mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Teori ini mengatakan
bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon,
melainkan tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya
tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori kognitif juga
menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan
seluruh konteks situasi tersebut. Teori ini berpandangan bahwa belajar
merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi,
emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Prinsip umum teori
Belajar Kognitif, antara lain:
a.
Lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
b.
Disebut model perceptual
c.
Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta
pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan belajarnya
d.
Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak
selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak
e.
Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil
dan memperlajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna.
f.
Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan,
retensi, pengolahan
B. Teori Agresivitas
a.Teori
Bawaan
1) Teori
Psikoanalisis ( naluri )
Menurut freud dalam teori psikoanalisis
klasiknya mengemukakan bahwa agresi adalah satu dari dua naluri dasar manusia. Naluri
agresi atau tanatos merupakan pasangan dari naluri seksual atau eros. Jika
naluri seks untuk melanjutkan keturunan, naluri agresi untuk mempertahankan
jenis. Kedua naluri tersebut berada dalam alam ketidaksadaran, khususnya pada
bagian dari kepribadian yang disebut ID yang pada prinsipnya selalu ingin agar
kemauannya dituruti (prinsip kesenangan atau pleasure principle).
Karena dinamika kepribadian seperti
itulah, sebagian besar naluri agresif manusia diredam (repressed) dalam
alam ketidaksadaran dan tidak muncul sebagai perilaku yang nyata. Akan tetapi,
bahwa agresivitas merupakan ciri bawaan manusia terbukti dalam berbagai
mitologi.
2) Teori
Biologi
Teori biologi mencoba menjelaskan
perilaku agresif, baik dari proses faal maupun teori genetika (ilmu keturunan).
Yang mengajukan proses faal antara lain adalah Moyes (1976)
yang berpendapat bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang
terjadi di otak dan susunan syaraf pusat. Menurut timAmerican Psychological Association (1993),
kenakalan remaja lebih banyak terdapat pada remaja pria, karena jumlah
testosteron menurun sejak usia 25 tahun.
Teori biologi ysng meninjau perilaku
agresif dari ilmu genetika dikemukakan oleh Lagerspetz (1979).
Ia mengawinkan sejumlah tikus putih yang agresif dan tikus putih yang tidak
agresif.
b.Teori
Lingkungan
1) Teori
Frustasi-Agresi Klasik
Teori yang dikemukakan oleh Dollard dkk
(1939) dan Miller (1941) ini intinya berpendapat bahwa agresi
dipicu oleh frustasi. Frustasi itu sendiri artinya adalah hambatan terhadap
pencapaian suatu tujuan. Dengan demikian, agresi merupakan pelampiasan dari
perasaan frustasi. Misalnya, Anda sangat kehausan dan kebetulan kehabisan koin
untuk membeli minuman dari mesin minuman yang ada di dekat situ. Untungnya ada
teman yang mau maminjamkan koin dan dengan penuh harapan Anda memasukkan koin
itu ke dalam mesin. Akan tetapi, ternyata mesin itu macet. Minuman dingin tidak
mau keluar dan koin pun tertinggal di dalam. Anda tetap kehausan dan tetap
tidak mempunyai uang, bahkan sekarang berhutang kepada teman Anda. Dalam
keadaan frustasi seperti ini dapat dijelaskan mengapa Anda memukuli atau
menendangi mesin minuman “celaka” itu.
2) Teori
Frustasi-Agresi Baru
Menurut Burnstein dan Eorchel (1962)
membedakan antara frustasi dan iritasi. Jika suatu hambatan terhadap pencapaian
tujuan dapat dimengerti alasannya, yang terjadi adalah iritasi (gelisah atau
sebal), bukan frustasi (kecewa dan putus asa). Kegagalan mesin minuman dalam
contoh di atas adalah frustasi, karena mestinya mesin itu tidak gagal dan tidak
dapat dimengerti mengapa mesin itu rusak. Semua itu membuat Anda agresif. Akan
tetapi, kalau sebelum memasukkan uang Anda sudah melihat tulisan “ mesin ini
rusak “, Anda mengerti mengapa Anda tidak dapat membeli minuman dari mesin itu
dan Anda tidak menjadi agresif walaupun anda tetap kehausan. Frustasi ini lebih
memicu agresi daripada iritasi.
Berkowitz (1978
dan 1989) mengatakan bahwa frustasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah
inilah yanng memicu agresi. Marah itu sendiri baru timbul jika sumber frustasi
dinilai mempunyai alternatif perilaku lain daripada perilaku yang menimbulkan
frustasi itu.
3) Teori
Belajar Sosial
Berbeda dari teori bawaan dan teori
frustasi-agresi yang menekankan faktor-faktor dorongan dari dalam, teori
belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Patterson, Littman, dan Bricker (1967)
menemukan bahwa pada anak-anak kecil, agresivitas yang membuahkan hasil yang
berupa peningkatan frekuensi perilaku agresif itu sendiri. Rubin (1986)
mengemukakan bahwa aksi terorisme yang tidak mendapat tanggapan dari media
massa tidak akan berlanjut. Jadi, ganjaran yang diperoleh dari perilaku agresif
akan berpengaruh pada peningkatan perilaku agresif tersebut.
Demikian pula White dan Humphrey (1994)
mendapatkan bahwa wanita-wanita yang agresif telah mengalami sendiri perlakuan
agresif terhadap dirinya, baik yang diperolehnya dari orang tuanya, teman
prianya, maupun pacarnya. Bandura (1979) juga mengatakan bahwa
dalam kehidupan sehari-hari pun perilaku agresif dipelajari dari model yang
dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media
massa. Penelitian-penelitian di Indonesia juga membuktikan bahwa kenakalan
remaja sangat terkait dengan hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak
(Ilahude, 1983 ) atau apa yang dilihatnya di rumah, sekolah, dan di
kalangan teman (Retnowati, 1983; Sarifuddin, 1982 ).
C.Teori
Kognisi
Teori kognisi
berintikan pada proses yang terjadi pada kesadaran dalam membuat penggolongan
(kategorisasi), pemberian sifat-sifat (atribusi), penilaian, dan pembuatan
keputusan. Dalam hubungan antara dua orang, kesalahan atau penyimpangan dalam
pemberian atribusi juga dapat menyebabkan agresi (Johnsondan Rule,
1986). Misalnya ada seorang pelajar melihat ada pelajar lain sedang melihat ke
arah dirinya. Pelajar yang pertama kemudian memberi atribusi yang salah kepada
pelajar kedua, yaitu bahwa pelajar kedua memusuhinya, marah kepadanya atau
menantangnya berkelahi. Reaksi pelajar pertama menjadi agresif terhadap pelajar
kedua.
D.Film Animasi
Film kartun atau lebih akrab disebut
dengan film animasi, adalah film yang merupakan hasil dari pengolahan gambar
tangan sehingga menjadi gambar yang bergerak. Pada awal penemuannya, film animasi
dibuat dari berlembar-lembar kertas gambar yang kemudian di-"putar"
sehingga muncul efek gambar bergerak. Imajinasi dan daya cipta sang seniman
memiliki porsi yang sangat tinggi dalam membuat sebuah film kartun. Ciri khas
dari film animasi adalah baik cerita, adegan, tokoh maupun gambar nya begitu
bebas dan seringkali melampaui atau menentang batas-batas realita dunia nyata.
Beberapa
puluh tahun yang lalu, tujuan dibuatnya film animasi atau film kartun adalah
sebagai tayangan hiburan untuk anak-anak. Seiring dengan perkembangan jaman dan
beragamnya jenis hiburan, film kartun atau animasi berubah tidak hanya sebagai
tayangan hiburan untuk anak melainkan meluas menjadi konsumsi berbagai usia.
Bila
kita cermati, sebenarnya memang banyak film animasi kartun di televisi yang
menampilkan adegan kekerasan. Ironisnya, animasi kartun di televisi bagi
sebagian besar masyarakat masih dianggap sebagai film anak-anak. Padahal kita
tidak tahu, film impor tersebut di negara asalnya apakah memang jelas-jelas untuk
konsumsi anak-anak, atau tidak?
Sebagai
contoh, film animasi kartun ‘Tom and Jerry’ yang populer dan sangat digemari
oleh anak-anak. Banyak orangtua yang merasa aman-aman saja dan membiarkan buah
hati mereka menonton animasi kartun tanpa perlu mendampinginya. Padahal, film
animasi karya duo animator William Hanna dan Joseph Barbera ini bila
diperhatikan sarat dengan adegan kurang terpuji. Film kartun legendaris yang
pertama kali diproduksi tahun 1940 ini, hampir di setiap penayangannya tampil
penuh kekerasan maupun keisengan yang cenderung ekstrem. Perseteruan abadi
tokoh kucing dan tikus ini selalu diwarnai dengan upaya saling mengalahkan
dengan melakukan pemukulan, penusukan, pembakaran, jebakan, peledakan,
penyiksaan terhadap masing-masing tokoh maupun perusakan materi seperti
melempar piring, membanting gelas dan lain sebagianya. Meski semua itu dikemas
dalam balutan humor, sehingga tampak jenaka, namun bagi anak-anak yang belum
bisa berpikir panjang bisa jadi apa yang diperagakan oleh tokoh Tom dan Jerry
dianggap sebagai legalitas bagi mereka untuk melakukan hal serupa dalam
pergaulan sehari-hari.
Lalu
bagaimana seharusnya? Film animasi yang bagaimana yang benar-benar ideal untuk
anak-anak? Memang sulit untuk menemukannya. Tapi tak menutup kemungkinan, bahwa
dampak negatif yang selalu dikhawatirkan masyarakat atas film kartun animasi
televisi terhadap anak, bisa diminimalisir.
Misalnya;
(satu); ada pelabelan atau pengkategorian yang jelas dan tegas dari KPI atau
lembaga terkait terhadap film animasi kartun televisi, apakah untuk anak-anak,
remaja, dewasa, atau segala usia; (dua), pihak LSF lebih ketat lagi dalam
melakukan sensor; (tiga), orangtua menyempatkan waktu untuk selalu mendampingi
anak-anak saat menonton film animasi kartun, dan siap memberikan penjelasan
seperlunya apabila ada adegan yang tak pantas untuk anak-anak; (empat),
komitmen pihak televisi untuk memproduksi film animasi kartun bernuansa budaya
lokal, sekaligus sebagai upaya memberdayakan dan mengakomodasi potensi animator
dalam negeri.
Mengingat
dewasa ini ilmu dan teknik animasi banyak diajarkan secara akademis di
perguruan tinggi seni maupun teknik informatika, maka anak bangsa yang handal
dan potensial membuat film animasi cukup melimpah. Banyak cerita rakyat dan
kisah-kisah budi pekerti yang bisa diaktualisasikan kembali menjadi animasi
kartun televisi, sehingga kita tidak dijajah produk film impor, dan tanpa
disadari dipaksa untuk permisif terhadap budaya asing melalui setting, istiadat
dan perilaku para tokohnya yang belum tentu sesuai dengan budaya Indonesia.
E.Perilaku Anak Balita
Saat usia anak bertambah, sifat
meniru masih terus berlanjut. Apa yang dikatakan orang tuanya, sikap seperti
apa yang orang tuanya tunjukkan, tanpa disadari akan ditiru oleh anak. Anak
belajar dari apa yang ia lihat dan dengar. Apa yang Anda lakukan, baik itu
gerakan, kata-kata, atau emosi, semua menjadi sarana belajar bagi anak. Hingga
usia 18 bulan, anak biasanya masih meniru gerakan. Barulah mulai usia 3 tahun,
anak meniru perilaku, sopan-santun dan bahasa Anda. Jika Anda adalah orang yang
toleran dan selalu berkata sopan pada setiap orang, maka sangat mungkin terjadi
si kecil pun akan tumbuh menjadi orang yang seperti itu juga.
Saat ini, anak mungkin tidak paham
mengapa Anda berperilaku baik dan sopan pada orang lain, tetapi mereka akan
tetap meniru Anda. Sebaliknya, jika Anda adalah orang yang berpikiran sempit
dan penuh kebencian pada orang lain yang tidak sepaham, maka sikap negatif ini
pun akan ditiru oleh anak, dan menjadi dasar bagaimana ia memperlakukan sesama
saat dewasa nanti.
F.
Pengaruh
pada Balita
Beberapa acara televisi
anak-anak berakibat buruk untuk otak anak menurut sebuah studi baru tentang
menonton kartun. Dampaknya adalah anak-anak tidak bisa berkonsentrasi atau
fokus dengan baik setelah menonton film kartun tertentu.Hal ini terungkap,
seperti dirilis oleh CNN Health (12/09/2011), dari hasil penelitian oleh ahli
dari University of Virginia mengenai dampak film kartun yang mereka sebut
dengan istilah “animated kitchen sponge” atau yang kita kenal dengan kartun
Spongebob terhadap kemampuan berpikir anak. Selain CNN Health, Washington Post
pun memberitakan hasil penelitian ini.
Peneliti dari University
of Virginia tersebut melakukan pengujian terhadap 60 sampel anak usia 4 tahun
dengan memberikan perlakuan yang berbeda. Mereka dibagi ke dalam tiga kelompok:
20 anak kelompok pertama diberikan tontonan 9 menit film kartun animasi cepat
Spongebob, 20 anak kelompok kedua diberikan tontonan film animasi lambat
Calliou, dan 20 anak kelompok ketiga disuruh menggambar dengan krayon dan
spidol.
Peneliti kemudian melakukan tes kemampuan
berpikir anak setelah melakukan aktivitas tersebut. Hasilnya adalah kelompok
anak yang diberikan perlakuan untuk menonton film Spongebob paling buruk
dibandingkan dua kelompok anak lain. Para peneliti menduga bahwa otak mendapat
overtaxed atau lelah dari rangsangan-rangsangan cepat dari kartun animasi Spongebob.
Untuk
jangka panjang, dampak tersebut masih merupakan pertanyaan terbuka yang harus
dibuktikan lebih lanjut. Beberapa penelitian lain telah menemukan hubungan
antara acara televisi dengan rentang perhatian anak-anak, terutama pada anak
muda, sementara yang lain tidak. Peneliti khawatir acara-acara televisi
tersebut memberikan dampak panjang terhadap kemampuan berpikir anak di masa
depan. Hal ini disebabkan anak-anak prasekolah menonton televisi minimal 90
menit sehari, dan menurut para peneliti lainnya memperkirakan anak-anak muda
menonton televisi antara dua sampai lima jam sehari. Jika ini dikalkulasikan
maka jika orang itu hidup 70 tahun, maka 7 sampai 10 tahun masa hidupnya
dihabiskan untuk menonton televisi. Hal ini ditambah lagi dari hasil penelitian
lain yang menunjukkan bahwa 32 persen anak dari usia 2 sampai 7 tahun dan 65
persen anak dari usia 8 sampai 18 tahun memiliki televisi di kamar tidurnya.
American
Academy of Pediatrics (AAP) menyarankan orangtua untuk membatasi anak-anak dari
tontonan televisi dan media hiburan lain (seperti video games dan lainnya)
tidak lebih dari 1 sampai 2 jam per hari dan tidak membiarkan anak berumur 2
tahun untuk menonton televisi sama sekali. Para peneliti juga mengatakan bahwa
ketika otak anak-anak yang masih berkembang dibombardir dengan stimulasi
terlalu banyak, dapat mengganggu kemampuan mereka untuk belajar fokus secara
baik. Dia menyarankan bahwa orang tua mengawasi apa yang anak-anak mereka
menonton.
"Inti dari
penelitian ini dan banyak penelitian lain adalah bahwa apa yang ditonton anak
Anda sama pentingnya dengan berapa banyak mereka tonton. Ini bukan tentang
mematikan televisi, ini tentang mengubah saluran," kata Dr Dimitri
Christakis, direktur Pusat Kesehatan Anak University of Washington dan penulis
editorial di Jurnal Pediatric.
Angelina Lillard dan
Peterson Jenifer, peneliti yang melakukan riset tersebut sekaligus penulis
jurnal, mengatakan hanya dengan 9 menit anak menonton film kartun Spongebob
tersebut telah memiliki efek negatif pada fungsi eksekutif otak anak. Orang tua
harus waspada terhadap hal ini, karena sedikitnya akan mempengaruhi fungsi otak
dalam jangka pendek.
BAB III
PENUTUP
1.KESIMPULAN
Dengan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa film
animasi itu sangat berpengaruh pada perilaku dan perkembangan anak di masa
depan karena penggunaan media film
animasi yang merupakan salah satu media audiovisual dapat berpengaruh terhadap
kemampuan berbahasa pada anak seperti kemampuan mengarang cerita, berbicara,
dan meningkatkan kosakata anak.Sehingga dapat diasumsikan bahwa penggunaan film
animasi dalam proses pembelajaran dapat membantu anak dalam pengembangan
berbahasa terutama dalam upaya meningkatkan kosakata dasar.
Akan
tetapi, pengaruh negatif pada film animasi harus dicegah dan disosialisasikan
ke tengah-tengah masyarakat sehingga bisa dicegah sejak dini. Disanalah peran
orang tua sangat dibutuhkan untuk mendampingi dan mengawasi anak-anaknya. Di
samping itu,orang tua wajib mengawasi anaknya dalam menonton acara televisi,
sehingga dapat melakukan proteksi tehadap dampak-dampak yang akan ditimbulkan
oleh acara televisi tersebut.
2.SARAN
Menurut saya,dari orang
tua perlu memberikan arahan kepada anak pada saat melihat televisi agar acara
yang ditonton oleh anak agar dapat berfungsi untuk berkembangan moral. Salah
satu caranya adalah mengarahkan acara tetelevisi kepada anak dengan cara
memilih tontonan atau film kartun yang sekiranya kurang layak untuk di tonton
oleh anak. Dan memberi pengertian kepada anak mana acara yang layak di tonton
dan tidak layak di tonton bagi anak balita. Dan selalu mendampingi anak saat sedang menonton atau
saat sedang menonton di suatu media elektronik. Disitulah peran orangtua sangat
berperan untuk mendidik dan menanamkan manakah acara dan tontonan yang pantas
bagi anak-anak balita.
DAFTAR PUSAKA
Buss,A.H,Perry M.(1992). The Agression Questionnaire Journal of
Personality and Social Psychology.
Ekawati,D.S. (2001). Agresivitas Mahasiswa Berdasarkan Etnis.
Laporan Penelitian.Yogyakarta.Fakultas Psikologi UII.
MT Indiarti.2009.Your Baby Day By Day.Jakarta : Andi
Publisher.
Carolyn Meggitt.(2013). Memahami perkembangan Anak. Jakarta :
Indeks
0 komentar:
Posting Komentar